Catatan Pelajar Masa Kini

Minggu, 15 Januari 2017

Laporan penelitian lapangan Mk Kemiskinan & Pemberdayaan ekonomi

LAPORAN PENELITIAN MATA KULIAH KEMISKINAN DAN PERBERDAYAAN EKONOMI
Gampong Meunasah Mon, Kec. Masjid Raya
Kab. Aceh Besar
Di Susun oleh:
Nama Anggota Kelompok :
Fidzar Aiga Aulianda
Aziz Gusti Munandar
Intan Silvia
Marliana
Novi Yanti
Nia Murniati
T. Silva Nanda
Apriansyah
Miftahul Jannah
Kori Silvia
Rafi Aulia

ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
BANDA ACEH

Latar Belakang
Kemiskinan merupakan hal yang kompleks karena menyangkut berbagai macam aspek seperti hak untuk terpenuhinya pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Agar kemiskinan di Indonesia dapat menurun diperlukan dukungan dan kerja sama dari pihak masyarakat dan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah ini.
Program pemerintah untuk menangani masalah kemiskinan telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 28,01 juta (10,86%) pada tahun 2016 menjadi 22,5 juta (11,3%). Namun, berbagai hal yang terjadi di Indonesia berkurang sebesar 0,50 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang (11,13 persen).  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Aceh Besar mencapai 383,477 jiwa dengan komposisi penduduk usia produktif mencapai 53,08 persen. Namun demikian, yang menjadi tantangan terbesar adalah menjawab angka kemiskinan yang masih tinggi yaitu 16,88 persen, padahal Aceh Besar memiliki potensi sumbar daya alam (SDA) yang sangat kaya.

Aceh merilis profil kemiskinan di daerah ini Maret 2016. Dari data tersebut menunjukkan persentase angka kemiskinan di Aceh hingga Maret 2016 tertinggi kedua (16,73 persen) di Pulau Sumatera, setelah Bengkulu (17,32 persen). Peringkat kemiskinan kedua provinsi ini masih sama seperti periode Januari-September 2015.
Pada satu daerah di Aceh Besar di kecamatan Masjid raya di Desa Meunasah Mon yang memiliki tingkat kemiskinan 50%. Pada umum nya masyarakat di desa Meunasah
Mon bekerja sebagai nelayan dan petani kebun yang menurut mereka pekerjaan ini sangat tergantung pada cuaca di lokasi tersebut.

Mengapa dan apa pentingnya riset di desa tersebut?
Meunasah Mon memiliki jumlah kepala keluarga  sebanyak 358. Desa ini ada 4 dusun yang masyarakat nya 75% bersuku aceh dan skitar 15%  yang tidak termasuk suku aceh. Bangunan rumah di desa ini mayoritasnya ialah rumah bantuan Tsunami 2004 lalu. Namun, tidak sedikit rumah di desa ini  yang hanya berukuran 15 meter. Mata pencaharian yang di dominasi oleh petani, nelayan, dan berjualan  ini belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan keluarga maupun pribadi mereka sendiri. Tidak sedikit dari anak-anak dari desa ini harus terputus sekolah akibat tidak ada nya biaya keluarga untuk meneruskan sekolah mereka. Diakibatkan beberapa faktor, terdapat kurang lebih 70% penduduk yang dikategorikan miskin atau kurang mampu.

Hasil Temuan Lapangan
Berdasarkan pantauan kami selama disana, masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai nelayan, petani dan berjualan  tersebut mengaku bahwa penghasilan mereka sangat lah pas – pas an bahkan cenderung kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari apalagi untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Ditambah dengan harga barang pokok  yang semakin hari semakin melambung membuat mereka sangatlah kesulitan. Cuaca yang terkadang  tidak mendukung sangat menghambat mereka untuk mencari nafkah sehingga mereka terpaksa harus mencari pekerjaan tambahan demi menghidupi keluarga sehari hari. Namun, tidak semua masyarakat memiliki pekerjaan sampingan, seperti salah satu narasumber kami yang bernama Zainal.
Beliau sehari hari hanya bekerja sebagai buruh bangunan, meski tidak mencukupi, namun diakibatkan tidak adanya keahlian lain yang dimiliki membuat nya tidak memiliki bekerja sampingan demi menutupi kebutuhan sehari hari serta membeli susu untuk anak yang masih kecil.  Di desa tersebut masih banyak kita temukan lansia yang seharusnya sudah dapat beristirahat namun mereka masih bekerja demi menyambung hidup. Memang hal ini sangat disayangkan karena apabila mereka terlalu capek akan sangat  berbahaya bagi kehidupan mereka. Program Raskin yang dimiliki oleh gampong tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan mereka diakibatkan tidak merata nya pembagian bantuan tersebut. Terkadang raskin yang dibagikan tersebut tidak sesuai dengan data yang ada bahkan masyarakat yang seharusnya mendapatkan bantuan tersebut malah tidak mendapatkannya.
Begitu juga dengan zakat, tidak semua masyarakat mendapatkan nikmat zakat tersebut meskipun mereka sangat pantas untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat atas informasi bantuan atau program pemerintah yang ditawarkan kepada gampong tersebut menjadi salah satu penyebab mereka tidak mendapatkan akses. Untuk mencari modal tambahan, masyarakat Meunasah Mon kebanyakan tidak berani untuk meminjam kepada lembaga keuangan diakibatkan takut nya tidak mampu untuk membayar kembali pinjaman tersebut meskipun syarat yang ditawarkan tidak terlalu sulit, namun dengan tidak adanya jaminan yang mereka pegang membuat mereka enggan untuk “berhutang”. Di samping itu, adanya predikat “miskin” yang melekat ada mereka, susah untuk meminjam modal padahal mereka sangat membutuhkan dana tersebut untuk memenuhi kehidupan sehari hari.
Diakibatkan ekonomi yang pas-pas an, banyak dari anak anak terpaksa putus sekolah karena tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan tersebut. Memang sangat disayangkan karena seharusnya dengan mereka bersekolah dapat merubah kehidupan mereka nantinya. Selain tidak ada biaya untuk sekolah, di desa tersebut bahkan masih ada rumah yang tidak memiliki sarana sanitasi sendiri sehingga mereka harus menumpang di rumah tetangga bahkan harus kesungai. Padahal yang kita tahu bahwa sarana sanitasi tersebut sangat lah perlu dalam kehidupan sehari-hari. Sarana sanitasi yang diperlukan tidak hanyak kamar mandi, namun daerah pembuangan seharusnya menjadi perhatian yang penting karena saluran pembuangan yang tidak sesuai hanya akan menambah masalah yang tidak hanya merugikan pribadi tapi orang lain dapat terkena imbasnya. Air Pdam yang merupakan sumber air bersih di Desa tersebut pun belum mampu memenuhi kebutuhan air mereka, dimana apabila air macet atau mati bisa berlangsung berhari hari dan apabila hujan air akan keruh sehingga untuk minum sangat tidak dianjurkan karena dapat membahayakan kesehatan.
Masyarakat Meunasah Mon kebanyakan memiliki akses kesehatan BPJS, meskipun memiliki akses masih ada masyarakat yang lebih memilih untuk berobat secara tradisional ataupun hanya dengan membeli obat biasa di warung warung terdekat dengan dalih lebih dekat dan murah. Meskipun tidak semua, namun ada juga masyarakat yang memilih berobat ke puskesmas dengan bantuan BPJS namun tidak mampu untuk berobat ke dokter dikarenakan tidak adanya biaya. Padahal kebanyakan dari masyarakat nya sendiri sudah berusia setengah abad dimana usia ini sangat rentan terhadap penyakit apabila tidak sering di periksa.
Meskipun hidup pas-pas an namun sikap kekeluargaan yang dimiliki masyarakat cukup besar, hal itu dapat dibuktikan pada saat diadakan nya rapat/musyawarah atau kegiatan rutin yang dilakukan Gampong, masyarakat menunjukkan antusias yang cukup besar dan bersedia ikut dalam kegiatan tersebut. Rapat/musyawarah tersebut juga digunakan masyarakat sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat mereka.

Berikut beberapa hasil survey lapangan anggota

1. Marlina
Siti hawa (69 tahun ), pendidikan terakhir MAN, status Janda dan memiiki anak 2 tingkat SMP. Sejak tahun 1996, beliau ditinggal oleh suami nya yang merantau namun hingga sekarang tidak ada kabar lagi. Di rumah pribadi berukuran 36 inilah Ibu Siti tinggal bersama kedua anaknya. Demi menghidupi keluarga nya, Siti menjual kacang rebus dan sayur sayuran meskipun hasil yang didapat tidak mampu menutupi kekurangan mereka. Bantuan yang pernah diterima nya ialah beras raskin yang diberikan oleh pihak Pertamina serta untuk mendapatkannya tidak perlu berdesak-desakan. Meskipun di gampong itu memunyai usaha Koperasi, namun Siti tidak pernah meminjam di sana karena takut tidak mampu membayar kembali. Untungnya, beliau tetap menerima zakat pertahun (tiap Idul Fitri) yang dapat membantu mereka saat itu. Siti mengharapkan pemerintah dapat memberikan bantuan dana bagi mereka agar kehidupan mereka menjadi lebih baik. Oleh karena itu, setiap diadakan rapat/musyawarah gampong, Siti sering hadir demi menyampaikan keinginan nya. Meskipun serba kekurangan, Siti masih dapat bersyukur karena memiliki akses air bersih serta memiliki sarana  sanitasi pribadi serta BPJS yang dapat digunakan saat penyakit nya kambuh.

2. Rafi Aulia
Amiruddin (52 tahun), pendidikan terakhir MIN, status menikah dan mempunyai anak 2. Amir sehari hari bekerja sebagai nelayan yang menurut beliau “cukup” untuk sehari hari. Namun, apabila cuaca tidak mendukung, dia tidak akan dapat penghasilan apa-apa dikarenakan tidak mempunyai sumber pendapatan lain. Untuk menambah modal, biasanya Amir meminjam uang ke koperasi sebesar 1 juta dan bayar bulanan nya 70 rb rupiah serta proses nya harus berkelompok dan ketua kelompok sebagai penanggung jawab. Setiap bulannya, Amir mendapat raskin yang diberikan pemerintah langsung dengan ditandai adanya kupon. Sedangkan zakat, beliau menerima pertahun  yaitu pada saat menjelang lebaran. Untuk menambah penghasilan dilakukan lah praktek Mawah, dimana dia merawat lembu orang, setelah anak lembu lahir dibagi dua dari harga anak lembu tersebut. Menurut Amir, program pemerintah belum cukup karena bantuan pemerintah sangat sedikit yang diterima oleh mereka. Dia mengharapkan pemerintah dapat memberikan kapal dan kapal tersebut dibayar dengan cara dicicil ataupun memberikan lahan baginya untuk membudidayakan lele. Dalam bermasyarakat, Amir sering mengikuti kegiatan gotong royong karena sudah dianggap kewajiban rutin ketika menyambut bulan suci Ramadan serta Maulid Nabi Besar SAW. Akses air bersih yang didapatnya berasal dari PDAM namun terkadang airnya mati atau tidak naik. Selama setahun terakhir ini, beliau tidak menderita sakit parah yang mengharuskan rawat, namun hanya penyakit biasa dan akses yang didapat adalah BPJS. Ketika diadakan rapat/musyawarah di gampong, beliau sering mengikutinya karena dengan begitu dapat menyalurkan pendapat atau aspirasinya.

3. Apriansyah
Alimin (52 tahun), pendidikan terakhir SMP, status menikah dan mempunyai $ anak. Pria yang sehari hari bekerja sebagai Nelayan ini harus menerima kenyataan pahit dimana ada anaknya yang terpaksa putus bersekolah karena ketidak adanya biaya. Penghasilan yang diterimanya pun terkadang cukup tapi sering kekurangan. Untuk menambah penghasilan, dia pun bertani cabai meskipun sering terkendala oleh cuaca. Setiap bulannya, Ali mendapat raskin dari pemerintah dengan hanya membawa uang saja. Menurutnya, proses dalam perizinan di gampong termaksud mudah hanya saja apabila berkasnya dibawa keluar kadang terhambat. Demi menambah penghasilan, dia pun melakukan praktik mawah yang memang dilakukan oleh sebagian masyarakat gampong. Untuk mendukung ketersediaan pangan, lahan di pekarangan ditanami sayur-sayuran karena menurut beliau lebih cepat menghasilkan. Namun, sayangnya Ali tidak mengetahui apasaja program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di daerahnya. Sumber air bersih yang didapatnya berasal dari PDAM dan sering sekali airnya macet. Menurutnya, pembangunan di desa tidak menyentuh warga secara keseluruhan sehingga masih banyak warga yang miskinn.

4. Novi Yanti
Jamliah (65 tahun), pendidikan terakhir SMP. Status menikah dan mempunyai anak 5 orang. Di rumah berukuran 36 inilah beliau dan sekeluara tinggal. Demi menghidupi keluarga, suami beliau bekerja di pabrik bata didaerah Lambaro Angan. Penghasilan yang diterima nya pun tidak mencukupi karena tidak adanya sumber pendapatan lain. Keluarga ini pernah meminjam dana kepada PNPM dengan hanya menyertakan fotocopy KTP. Raskin yang diterima sebanyak 2 are per kk pun menjadi tambahan untuk makan mereka dan termaksud mudah karena hanya perlu mengambilnya raskin di kantor desa. Jenis usaha gampong yang ada ialah merajut yang dibatasi hanya 100 orang ibu-ibu rumah tangga. Menurutnya, program pemerintah sudah dapat meringankan mereka karena dengan adanya dan PNPM tersebut bisa untuk merenovasi rumah mereka. Meskipun di gampong sering diadakan kegiatan rutin, beliau jarang mengikutinya Karena terbentur akan pekerjaan. Air PDAM yang diterima mereka pun dibayar perbulan sesuai pemakaian, namun untuk mencuci, mereka lebih memilih di sungai dengan alasan hemat air. Meskipun serba kekurangan, dia masih mampu menyekolahkan kedua anaknya yan kini sudah di duduk di dayah dan kelas 3 SMP, sisanya tidak bersekolah karena tidak adanya biaya.

5. T. Silva Nanda S.
Sunaryo (36t tahun), pendidikan terakhir SMP, status menikah dan mempunyai 2 orang anak, rumah dimiliki milik pribadi berukuran 4x8 m. Demi menghidupi keluarganya, pria ini sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan yang terkadang mencukupi dan terkadang tidak. Dulu nya di Jawa pernah berdagang bakso yang terkadang lebih santai dan pendapatannya lebih banyak, hanya saja untuk kembali berdagang beliau tidak mempunyai dana serta menurutnya masyarakat tidak mampu untuk membeli bakso karena membeli nasi saja masih kurang. Untuk mengambil raskin yang diberikan tiap bulannya, mereka hanya perlu membawa uang saja untuk mengantri dan tidak mengurus macam-macam surat. Menurutnya program yang ada untuk menanggulangi kemiskinan belum maksimal dikarenakan masih banyak nya orang miskin, namun sayangnya dia tidak mengetahui pasti apa saja program pemerintah tersebut. Gotong royong serta pengajian sudah dianggap kegiatan rutin yang wajib diikuti demi mempererat tali silahturahmi. Meskipun memiliki akses air PDAM namun sekarang sudah tidak berfungsi lagi. Untuk memenuhi air sehari-hari digunakanlah air sumur sendiri.

6. Intan Silvia
Rusmini(75 tahun), pendidikan terakhir SMP, janda dengan 3 anak. Pekerjaan sehari-hari yang dijalani nya ialah berjualan kue dengan menitipkan kewarung tetangga. Untuk memenuhi kekurangan, wanita setengah baya ini pun bertani di bantu salah seorang anaknya. Kenaikan harga pokok yang melambung menjadi kendala beliau dalam berjualan, karena modal yang dikeluarkan bisa lebih besar daripada pendapatan. Saat di gampong itu masih ada koperasi, dia pernah meminjam dana di sana dengan syarat yang cukup mudah. Nenek ini juga menerima raskin (per bulan) serta zakat (pertahun) yang menurutnya sangat bermanfaat. Meskipun di gampong itu masih terdapat mawah, namun dia memilih tidak melakukannya. Menurut beliau program yang dijalankan pemerintah belum maksimal karena tidak meratanya atas bantuan tersebut dan dia mengharapkan pemerintah kedepannya lebih teliti dan maksimal. Meskipun kekurangan, tapi nenek Rusmini masih bersyukur karena adanya air PDAM meskipun sering macet dan adanya akses kesehatan seperti BPJS yang sangat berguna apabila beliau ingin berobat ke puskemas. Ketiga anaknya sudah menikah namun hanya seorang yang masih bersamanya.

7. Kori Silvia
Ainal Mardhiah (70 tahun), janda dengan 2 orang anak. Nenek Ainal tidak pernah mengecap bangku sekolah sehingga demi menghidupi keluarganya dia memilih untuk membantu tetangga menjual kacang rebus. Sebelum berjualan kacang, dia pernah bekerja sebagai petani, namun seiring bertambah usia dia memilih cukup berjualan saja meskipun pendapatan yang diterima tidak menentu. Meskipun syarat apabila meminjam dana mudah, namun dia memilih jalan aman dengan tidak meminjam karena tidak mampu membayarnya. Bantuan yang diterima ialah raskin serta zakat pada waktu tertentu. Akses air bersih yang ada ialah PDAM meskipun ketika hujan airnya keruh sehingga tidak dapat digunakan untuk minum.

8. Fidzar Aiga Aulianda
Rosmiati (78 tahun), pendidikan terakhir SMP, janda dengan 4 anak. Dengan hanya menjual kue ke warung-warung dia menghidupi keluarganya. Meskipun ada pemberian pendapatan dari anak yang sudah menikah namun dirasa belum memenuhi kebutuhan mereka. Nek Rosmiati pernah meminjam uang ke bank untuk dijadikan modal usaha dengan syarat yang terbilang mudah yaitu, survey usaha dan melihat ktp. Raskin yang diterima nya pun tidak menentu karena dibagikan langsung oleh kepala dusun serta tidak seluruh warga miskin yang menerimanya. Meskipun ada usaha gampong, mereka kurang dipercaya karena adanya predikat miskin yang melekat pada mereka. Pemberian modal usaha menurut nya sangat bagus karna dapat mengembangkan usaha yang sudah ada. Diakibatkan tingkat kesehatan yang sudah menurun, beliau jarang mengikuti kegiatan gampong seperti, pengajian ataupun rapat warga.

9. Nia Murniati
Zuhriati (32 tahun), pendidikan terakhir SD. Status menikah dan punya anak 1. Untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja sebagai petani yang dirasa terkadang kurang. Ketika hujan sangat menghambat dalam mencari rezeki Karena lahan perkebunan berada di atas gunung. Meskipun masuk dalam golongan warga miskin, namun keluarga mereka tidak pernah mendapat bantuan pemerintah seperti raskin dan proses untuk mengurus surat-surat cenderung susah. Menurut nya kegiatan rutin gampong seperti gotong royong, pengajian, dan wirid menjadi kewajiban karena dengan begitu antar warga akan ada ikatan kuat. Air PDAM yang terkadang mati, serta keruh pada saat hujan sangat mengganggu kegiatan sehari hari seperti memasak,mandi, dan mencuci.

10. Miftahul Jannah
Burhani (64 tahun), pendidikan terakhir Min, status menikah dan 9 orang anak. Dengan hanya bermodalkan melaut, dia menghidupi keluarga. Pendapatan yang diterima nya sangat bergantung pada cuaca dan keadaan laut. Ketidakmampu untuk membayar ulang membuat pria ini enggan meminjam dana kepada lembaga keuangan. Raskin yang diterima nya pun tidak sesuai karna menurutnya raskin diberikan kepada keuchik sedangkan pak keuchiknya tidak menyalurkan raskin tersebut kepada mereka. Usaha gampong yang dimilki pun tidak dapat membantu mereka karena pihak pengelola tidak percaya. Lahan yang terlalu sempit membuat mereka tidak dapat memanfaatkan untuk tambahan kebutuhan pangan. Program yang ada dirasa tidak mampu mengatasi kemiskinan karena Keuchiknya tidak menyalurkan bantuan seperti raskin kepada warga miskin, kalau adapun hanya sesekali mendapatkannya. Kegiatan rutin yang ada di gampong dijadikan wadah sebagai menambah ilmu dan memperbaiki diri menjadi lebih baik sehingga dapat mengajarkan nya kepada anak-anak. Akses air yang digunakan adalah sumur, untuk memperolehnya menggunakan/memasang keran. Terlalu sering bekerja membuat pria ini cenderung sakit-sakitan namun hanya berobat secara tradisional karena boleh membayar seikhlasnya.

11. Aziz Gusti Munandar
Nur Habibah/Zainal (27/31 tahun), pendidikan terakhir (SMA/SMP), status menikah dan mempunyai 3 orang anak. Demi menghidupi keluarga sehari hari serta membayar rumah sewa, Zainal bekerja sebagai buruh bangunan yang penghasilannya dirasa tidak cukup. Dikarenakan tidak adanya keahlian lain membuatnya harus bekerja sebagai buruh bangunan saja. Kendala yang dialami ialah gaji yang terkadang telat diberikan. Menurut mereka, mudah saja melakukan pinjaman tetapi beratnya karena harus ada jaminan yang merupakan syarat utama peminjaman. Dalam hal memperoleh beras raskin pun dirasa mudah karena hanya membawa kk dan sejumlah uang. Dalam pengajuan surat, tergantung surat apa yang diajukan. Jika surat tersebut memberi keuntungan untuk pribadi misalnya proposal agak dipersulit dan banyak persyaratan. Meskipun secara ekonomi mereka berhak menerima zakat, tapi faktanya mereka belum pernah menerima zakat tersebut. Luas tanah sama dengan luas rumah yang hanya sebesar 3x5 m itu pun sangat memprihatinkan. Ketidak tahuan tentang program pemerintah membuatnya tidak dapat memberikan solusi atas masalah yang mereka hadapi. Sangat disayangkan,keluarga kecil ini tidak mempunyai sarana sanitasi sendiri hingga harus menumpang ke rumah tetangga mereka. Tidak adanya akses air bersih membuat mereka harus membeli air untuk minum dan masak sedangkan mandi dan mencuci dilakukan di sungai. BJPS yang diurus pun belum keluar, namun ketika berobat mereka memilih ke Puskesmas.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan kami di lapangan, Gampong Meunasah Mon, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar tersebut sangat layak untuk dapat perhatian yang lebih dari pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Aceh. Mengingat angka kemiskinan yang mencapai 70% tersebut tidak dapat dianggap remeh oleh pemerintah. Pemerintah harus dapat meminimalisir persentase yang tinggi itu demi mensejahterakan masyarakatnya. Menurut beberapa warga desa, mereka mengharapkan pemerintah dapat bersikap adil dalam hal pemberian bantuan serta dana untuk mereka. Karena pada praktik lapangannya  masih banyak ditemukan tidak meratanya pembagian tersebut. Selain itu mereka mengharapkan adanya perbaikan atas sarana sanitasi di desa tersebut sehingga semua rumah punya sarana sanitasi. Di desa tersebut juga banyak anak yang putus sekolah, sehingga hal ini dapat dijadikan perhatian khusus pemerintah demi masa depan anak-anak.

Foto – FotoPenelitian








Senin, 09 Januari 2017

Pante Pirak

Ada Apa Dengan Pante Pirak?




Pante Pirak merupakan salah satu usaha yang paling terkenal di Banda Aceh. Pante Pirak didirikan oleh Abu Bakar Usman atau akrab dipanggil Abu PP yang dijuluki  “raja retail” oleh warga Banda Aceh. Tak hanya di bisnis retail, Abubakar juga merambah berbagai bisnis lain, seperti warung kopi modern Tower Premium, salon waralaba Marthaa Tilaar, Pante perak Bakery, waterboom, Restoran, Wahana Bermain, Game Zone, Salon, Bakery, RM Padang.
Pria yang lahir di Lahir di Glumpang Minyeuk, Kabupaten Sigli, 20 April 1949 silam,dibesarkan dalam keluarga sederhana. Karena keterbatasan perekonomian,  Pak Abu sempat mengalami putus sekolah. Namun, hal tersebut tidak membuat dia patah semangat. Berbekal bakat dagang ayahnya yang mengalir, dia pun memutuskan untuk hijrah ke Banda Aceh di penghujung tahun 60-an untuk memulai usaha. Di awal 1970, dengan modal seadanya, ia membuka usaha retail tradisional di kawasan Pasar Aceh. Kala itu produk-produk yang dijajakan Abu tak selengkap yang ada di swalayannya saat ini.
Bisnisnya mulai berkembang pesat memasuki tahun 90-an. Bermodal kepercayaan bank dan rekan seprofesinya, Abubakar mendirikan sebuah gedung di kawasan Simpang Lima, tak jauh dari jembatan Pante Pirak. Nama jembatan itu ditabalkan sebagai nama swalayannya. Pante Pirak yang kemudian menjadi retail modern pertama di Banda Aceh yang dimiliki putra daerah.

Musibah yang datang pada 26 Desember 2004 yaitu Gempa dan tsunami meluluhlantakkan usahanya yang dibangun puluhan tahun. Hampir seluruh infrastruktur usahanya hancur. Kerugiannya puluhan miliar rupiah. Dari empat pasar swalayan miliknya, hanya satu yang tersisa yaitu yang berada diwilayah Neusu yang kemudian menjadi cikal bakal bangkitnya usaha beliau.

Berbekal  pengalaman wirausaha puluhan tahun membuatnya cepat bangkit. Saat itu, Pak Abu memilih berdamai dengan diri sendiri. Abu percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan.” Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang,” katanya dalam sebuah wawancara. Saat masyarakat Aceh  masih larut dalam trauma, Pak Abu justru menangkap peluang. Ketika itu, ribuan pekerja kemanusiaan dari berbagai negara tumpah ruah ke Aceh. “Peluang yang sangat besar,” kata pria yang banyak terinspirasi dari Chairul Tanjung, pengusaha sukses nasional, pemilik CT Corp.

Pak Abu juga tetap konsisten pada usaha yang digelutinya: retail. Seiring perjalanan waktu, Abu PP kembali meraih sukses. Saat ini tercatat 25 outlet Pante Pirak yang dimiliki Abu, 20 di antaranya berada di Kota Banda Aceh dan lima lainnya ada di sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Sebagian outlet-nya masuk ke kompleks pemukiman penduduk dengan konsep supermarket.

Dalam berusaha, Abu tak menggunakan strategi yang rumit. Dia hanya mendekatkan diri dengan konsumen. Karena itu pula, motto swalayan Pante Pirak adalah “Dekat dan Murah”.Tak hanya swalayan, Pante Pirak Group juga sudah merambah ke sektor kuliner, kafetaria, wahana hiburan, salon, hingga toko roti.

Memang, tak semua usahanya berjalan sukses. Usaha waralaba Bakso Tenis Lapangan Tembak Senayan di kawasan Peunayong, misalnya, terpaksa gulung tikar, dan berganti dengan Pante Pirak Swalayan dalam format supermarket. Begitu pula sebuah warung Padang di depan Taman Sari, kini disulap menjadi Tower Coffee, warung kopi modern yang saban hari dipenuhi pengunjung hingga ke halamannya. Beliau  langsung mengganti jenis usahanya begitu hasilnya tak sesuai dengan harapan.
Dari unit-unit usahanya ini, Abu mampu menyerap ratusan tenaga kerja di Aceh. Pak Abu pernah menjadi penyumbang pajak terbesar di Aceh. Untuk itu, Abu pun mendapat penghargaan dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Banda Aceh saat itu
Dalam sebuah wawancara,pak Abu pernah mengatakan bahwa dia ingin memiliki 3000 karyawan pada tahun 2020, namun impian tersebut harus ditunda karena PP sekarang hanya tinggal nama yang kemudian berganti nama dengan Zipy Zipy yang bergerak di bidang Pecah Belah. Zipy Zipy sendiri saat ini dikelola oleh anak-anak beliau. Saat ini sudah terdapat 3 outlet yang terletak di Simpang Lima, Peunayong dan Neusu.
Perusahaan Waralaba terbesar di Aceh itu sekarang hanya tinggal nama. Dan inilah yang  terjadi ketika pada masa jayanya, pengiriman barang dari gudang ke toko bisa mencapai 4 kali dalam sehari namun sejak akhir tahun 2011 pengiriman mengalami penurunan, bahkan dalam sehari hanya dilakukan sekali pengiriman barang. Selain penuruan pengiriman barang dari gudang, kendaraan  juga yang biasa terparkir di depan outlet harus ditarik ke gudang utama yang berada di Lambaro Skep. Seiring berjalan nya waktu, PP swalayan tidak mampu mempertahankan bisnis nya sehingga terjadi penutupan outlet di sejumlah tempat. Outlet pertama yang tutup ialah yang berada di Batoh kemudian disusul penutupan di Bireun dan dilanjutkan penutupan sejumlah outlet lainnya. Puncak dari penutupan pp swalayan terjadi tahun lalu dimana barang barang usaha yang berada di gudang sudah semuanya dipindahkan ke outlet utama yang berada di simpang lima.
Salah satu indikasi jatuhnya swalayan terbesar di aceh ini ialah “Sistem Manajemen yang sangat salah yaitu  tidak menghargai  dan menghormati karyawannya”. Sistem ini bermula saat Bos PP, Pak Abu,  menyerahkan tugas  dan jabatannya kepada salah seorang kerabatnya pada tahun 2011. Pada saat managernya diganti yang terjadi adalah  Karyawan atau pegawai PP dituntut untuk bekerja ekstra namun dengan upah yang tidak sesuai bahkan bisa disebut upah  sangat minim . Jam kerja yang padat serta tidak ada nya penghargaan sama sekali untuk para pegawai dan hal ini membuat para pegawai sangat-sangat  kecewa atas tindakan yang di lakukan oleh si manager baru ini , terutama mereka yang bekerja di Gudang. Ketika perusahaan pp masih dikelola pak Abu jam kerja biasanya dimulai dari jam 08.00 hingga shift masing-masing karyawan selesai akan tetapi ketika manajer baru ini menjabat peraturan lama mulai diubah dan tidak sesuai dengan yang biasanya dilakukan para karyawan contohnya saja Jam kerja pegawai,  yang setiap harinya dimulai pukul 07.30-18.00 tanpa istirahat cukup dan membuat para pegawai kewalahan. Namun, tidak hanya jadwal kerja yang padat, tekanan dari atasan pun sering terjadi. Apabila ada karyawan yang melakukan sedikit kesalahan maka pihak manajer tidak segan untuk memarahi nya meskipun di depan khalayak ramai bahkan karyawan sering diancam dengan kata-kata “kamu mau dipecat ya?” dan tindakan itu sangat mengecewakan para pegawai . Dalam setahun, para pegawai hanya diberikan cuti seminggu dan tidak boleh lebih. Jika ketahuan melebihkan jadwal libur maka akan meendapatkan potongan gaji. Tidak adanya hubungan harmonis  dan rasa kekeluargaan yang sudah hilang antara pegawai dan pihak manajer membuat pp tidak mampu mempertahankan namanya lagi. Tidak lama setelah pergantian manajer tersebut  sekitar kurang lebih 6 bulan, PP swalayan mengalami penurunan yang sangat drastis dan mengalami gulung tikar bahkan hampir semua outlet-outletnya tutup. Setelah tahun lalu dilakukannya  pembersihan gudang utama, banyak para pekerja  yang memilih untuk tidak bergabung dengan  usaha  ini lagi. Mereka memilih keluar dan mencari pekerjaan lain. Hal yang sangat disayangkan adalah saat keluarnya para pegawai  pihak perusahaan tidak memberikan uang tunjangan speserpun walaupun mereka sudah bekerja lebih dari  22 tahun mereka  juga tidak mendapatkan tunjangan  dan itu sangat mebuat para pegawai sedih dan kecewa.
Oleh karna itu Saat ini kepercayaan masyarakat terhadap PP swalayan sudah sangat berkurang masyarakat lebih memilih berbelanja di suzuya,indomaret,alfamart ,dll.inilah yang membuat pp menjadi gulung tikar. membuat  pak Abu memilih untuk membuka usaha lain. Dan pante pirak sekarang sudah berganti nama usahanya menjadi ZIPY-ZIPY  yang kemudian di pegang dan dikelola oleh anak-anak pak abu sendiri.